Sabtu, 16 April 2011

Arti Surah Al Waqiah

SURAH AL-WAQI'AH

"HARI KIAMAT"

Pendahuluan

Ayat 1-10

Surah Makkiyah ini menggambarkan kebangkitan besar ketika segala sesuatu bakal ditampakkan dan keadilan sempurna akan ditegakkan.
Surah ini mengemukakan bukti eksistensial yang memungkinkan manusia mempertanyakan kembali keberadaannya dan juga memungkinkannya menyadari adanya satu Pencipta, satu-satunya Zat yang layak disembah dan diibadahi.
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Segala sesuatu dimulai dengan nama Allah. Kata bismillah (dengan nama Allah) adalah bagian dari setiap surah Alquran, kecuali surah at-Tawbah. Bismillâhirrahmânirrahimmempunyai makna harfiah yang selalu sama, tetapi pesannya berbeda sesuai dengan makna surah yang diawalinya. Orang-orang yang beriman, dan yang imannya telah diuji dengan beragam kesadaran dan pengalaman pribadi, akan melihat satu tangan di balik segala sesuatu yang maujud dan juga tidak maujud. Mereka melihat yang lembut di balik yang kasar. Segala sesuatu mempunyai label Tuhan Yang Mahabenar di dalamnya. Entah suka atau tidak, segala sifat atau tindakan selalu ditandai oleh penyebabnya.
Bismillah adalah pintu gerbang yang, bila dibuka dengan benar, akan mengantarkan Anda menuju taman surah ini. Kalimat ini adalah bagian dari setiap surah dan, dengan sendirinya, mesti dibaca dalam salat karena merupakan bagian darinya. Dalam salat, seseorang harus memilih satu surah terlebih dahulu, lalu mengucapkan bismillâh, dengan nama Allah yang telah memberi Anda kemampuan untuk menyatakan tauhid dengan membiarkannya mengalir dalam surah itu selama teriintas dalam benaknya.
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ
1.  Apabila telah terjadi hari kiamat.
لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ
2. Tidak seorang pun dapat mendustakan kejadiannya.
خَافِضَةٌ رَّافِعَةٌ
3.  (Kejodian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan lainnya).
"Apabila telah terjadi hari kiamat." Kata waqa’a berarti tiba, menimpa, terjadi. Peristiwa yang menyibukkan manusia adalah hari kebangkitan, yawm al-qiyâmah, hari awal dari tahap berikutnya pengalaman manusia. Hari inilah titik acuan utama dan sangat penting artinya. Apa pun yang ada dalam siklus penciptaan berikutnya—yang tidak didasarkan pada dualitas di mana ada kekacauan antara jiwa dan raga—tidaklah tunduk pada waktu. Apa pun yang ada atau yang dapat dialami sejak terjadinya peristiwa besar itu dan sesudahnya sesungguhnya memiliki refleksinya dalam kehidupan ini. Umpamanya saja, dalam Alquran, api yang dijanjikan dalam kehidupan akhirat disebut sebagai api neraka Jahannam (nâr al-jahannam) atau api besar (an-nâr al-kubra), yang menyiratkan bahwa apa yang Anda alami dalam kehidupan ini adalah api kecil dalam bentuk amarah, kekecewaan, hasutan, dan berbagai hasrat atau keinginan yang tak terpenuhi. Pengalaman tentang surga secara potensial juga ada dalam kehidupan manusia di dunia ini. Demikian pula, pengalaman tentang peristiwa itu, hari perhitungan, bisa digemakan dan direfleksikan dalam diri manusia sekarang dan di dunia ini.
Ketika sebuah peristiwa penting terjadi dalam diri seseorang, hal itu bisa membuatnya mulai tersadar atau memberikan kesaksian. Peristiwa seperti ini memudahkan jalan menuju eksistensi. Manusia bergerak dalam sebuah terowongan yang didorong oleh kekuatan alam, dibimbing atau disesatkan oleh kebiasaan-kebiasaan masa lalu, keadaan-keadaan masa kini, dan berbagai proyeksi masa depan. Ia berada dalam kepompong. Jika kemudian ada guncangan tiba-tiba atau keretakan itu mulai melebar, maka itulah peristiwa besar (waqi'ah)bagi orang yang telah mengalaminya. Akan tetapi, ketika terjadi peristiwa besar (yawm al-qiyâmah), tidak ada seorang pun bisa mengingkarinya. Setiap orang tunduk kepada kekuatannya. Peristiwa ini mengangkat dan menjatuhkan, meledakkan planet, bintang, atau aspek-aspek alam semesta, dan menghancurkan bagian-bagian lainnya. Sebuah ciptaan berakhir dan ciptaan lainnya pun dimulai. Entitas-entitas kosmis dipaksa untuk bergerak ke arah yang berlawanan. Akan terjadilah situasi perendahan dan peningkatan.
Inilah waktunya ketika hati-hati yang telah tercerahkan diangkat dan dilapangkan dari beban-bebannya, sementara hati-hati yang temoda dan penuh dengan beban dihancurkan. Seorang mukmin ditinggikan dan seorang kafir atau seorang munafik pun dihinakan. Hari perhitungan adalah hari pemilahan, hari pemisahan ke dalam berbagai kelompok (yawm al-fashl). Tidak ada daerah abu-abu atau kabur. Keadaan Anda akan bahagia atau sengsara, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan Anda dan apa yang telah Anda peroleh dalam kehidupan singkat dunia ini. Orang-orang yang telah mengangkat diri mereka dengan menempuh jalan kebenaran bakal ditinggikan setinggi-tingginya di akhirat, dan orang-orang yang sudah merendahkan diri mereka sendiri bakal direndahkan serendah-rendahnya. Kesadaran di akhirat adalah abadi dan, karena itu, bersifat permanen. Inilah sebabnya akhirat itu disebut tempat tinggal terakhir, karena di dalamnya tidak ada lagi pergerakan.
إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا
4. Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya.
وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا
5. Dan gunung-gunung dihancurleburkan sehancur-hancurnya.
فَكَانَتْ هَبَاءً مُّنبَثًّا
6. Lalu gunung-gunung itu pun berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan.
"Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya." Bumi adalah segala sesuatu yang berfungsi sebagai fondasi, seperti tanah misalnya. Kata rajja berarti mengguncangkan. Setiap orang menginginkan stabilitas atau kemapanan, entah dalam rumah, pergaulan dan hubungan, atau dalam perekonomian. Akan tetapi, orang-orang yang mencari stabilitas mutlak mengetahui bahwa yang demikian itu hanya dijumpai bila ada keimanan dan ketawakalan kepada Allah. Segala jenis stabilitas lainnya bersifat relatif. Sekalipun hal itu mungkin berlangsung selama hayatnya masih dikandung badan, sang pencari kebenaran pun mengetahui bahwa dunia dan alam semesta sesungguhnya tengah menempuh perjalanan, dan bahwa fondasi yang dijadikannya untuk membangun keamanan relatifnya bisa saja terguncang dan dicabut dari dirinya. Sewaktu mengalami guncangan, fondasi relatif yang rapuh, setelah memenuhi tujuannya dalam siklus penciptaan ini, sudah berakhir. Bagi seseorang yang tengah menempuh jalan itu, kesengsaraan seperti itu dipandang sebagai bukti langsung cinta Tuhan Yang Mahabenar kepada dirinya. Karena itu, ia pun mencari fondasi yang lebih baik hingga ia menemukan fondasi sejati dari segala fondasi.
Massa yang padat, yang mencapai keseimbangan sesudah bumi menjadi dingin, dengan memberinya stabilitas relatif, akan hancur beterbangan dan berhamburan menjadi debu. Orang beruntung yang memiliki intelek mulai menyadari bahwa apa yang dipahaminya sebagai ketangguhan fondasinya hanya ada dalam benaknya saja. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang abadi, entah kesehatan, kekayaan, maupun anak-anak. Sesudah hal itu diketahui, kesadaran, kesegeraan, dan urgensi pencarian kebenaran menjadi kesibukan utama dalam kehidupannya, dan seluruh aspek lainnya menjadi sekunder dan, karenanya, bisa diterima kefanaannya. Setelah fondasinya diguncang dan dihancurkan, terbangunlah sebuah fondasi yang baru dan lebih kuat.
Ukuran hal-hal duniawi berpijak pada faktor-faktor waktu spesifik yang sangat berbeda bila ada keberpalingan hati, yang menimbulkan perubahan situasi seseorang. Ini adalah masalah sikap. Dihalaunya hati dari dunia ini memang benar-benar sebuah peristiwa besar. Ini adalah pengantar menuju pengalaman tentang kehidupan sesudah mati. Maka, hati pun tercerabut sepenuhnya dan memasuki keadaan melampaui kebebasan. Sebab, kebebasan hanya bermakna karena ada belenggu. Manusia mampu memahami keadaan ini secara intelektual dan eksperiensial hingga berbagai tingkatan kejelasan. Misalnya saja, berbagai realitas kasatmata yang paling solid dalam kehidupan ini adalah gunung-gunung yang melabuhkan jubah bumi. Jika entitas-entitas yang dipandang paling solid ini bisa dibebaskan, maka perhatikan hal-hal yang sama rapuhnya dengan segenap pergaulan atau pemikiran.
"Lalu gunung-gunung itu pun berubah menjadi debu beterbangan dan berhamburan." Ketika peristiwa akhir itu terjadi, ada aliran-aliran pasti yang ke dalamnya setiap orang dipisahkan. Dalam dunia ini, aliran-aliran itu tidak diuraikan dengan jelas karena kita mempersepsikan segala sesuatu dalam berbagai tingkatan relatif, dan relativitas itu mengaburkan berbagai uraian itu.
وَكُنتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً
7. Dan kamu menjadi tiga golongan.
فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ
8.  (Pertama) golongan yang berbahagia. Alangkah mulianya golongan yang berbahagia itu.
Manusia bisa dibagi menjadi tiga jenis. Pada peristiwa terakhir itu, akan ada proses penyaringan persis sama sebagaimana terjadi dalam kehidupan ini. Dalam satu kelompok, ada orang-orang beriman, yang keimanannya bisa berasal baik dari penalaran intelektual maupun melalui pewarisannya dari sebuah keluarga yang beriman kepada Tuhan Yang Mahabenar, kepada Islam. Dalam kelompok lainnya, ada orang-orang yang merugi, yang kebingungan dan sombong. Mereka adalah orang-orang yang egonya demikian membatu sehingga Tuhan Yang Mahabenar pun mereka ingkari sepenuhnya. Akan tetapi, jenis-jenis ini tidak selalu terikat dengan kelompok-kelompok mereka. Ada saat-saat di mana seseorang meninggalkan golongan orang-orang yang merugi dan berada dalam kebingungan untuk kemudian bergabung dengan golongan orang-orang yang memiliki keimanan, keimanan tak tergoyahkan, yang bertumpu pada pengetahuan tentang satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar.
Orang-orang golongan kanan adalah orang-orang yang memiliki keimanan sejati. Mereka beriman kepada Allah dan juga kepada rahmat-Nya kepada makhluk-Nya. Mereka pun berkeyakinan bahwa tujuan penciptaan adalah mengenal sang Pencipta dan mampu menyerahkan kehendak mereka kepada kehendak sang Pencipta. Iman dimulai dengan ketundukan lahiriah, dan berakhir dengan pengakuan langsung bahwa kehendak seseorang dan ketentuan Allah adalah satu: keduanya memancar dari Yang Mahaesa, didukung oleh-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Pada tahapan ini, manusia menyadari sumber kebahagiaan batiniah, karena sudah tidak ada lagi perlawanan apa pun.
Orang-orang golongan kanan telah bertindak secara positif dan langsung. Tangan kanan dalam kebudayaan Arab, dan juga dalam berbagai kebudayaan lainnya, adalah tangan yang digunakan dalarn transaksi yang sah dan halal. Sementara itu, tangan kiri adalah tangan untuk menyerahkan dan membuang, tangan pengingkaran.
وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ
9.  (Kedua) golongan celaka. Alangkah sengsaranya golongan celaka itu.
Kata masy'amah (tangan kiri) berasal dari kata sya'ama, dan berarti mengetahui pertanda buruk, meramalkan suatu bencana atau ketidakberuntungan. Orang-orang golongan kiri adalah orang-orang buangan yang telah mengutuk diri karena kebodohan dan kerugian mereka sendiri. Manusia tidak bisa menggugat sang Pencipta. Ia sudah diberi gambaran tentang Tuhan Yang Mahabenar, suatu referensi kepada yawm al-qiyâmah yang tidak bisa dicampurinya. Dalam kehidupannya, ia mungkin saja merasa bahwa ia mengalami kerugian, marah, tidak bahagia, dan kebingungan. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa masih ada kemungkinan munculnya kesadaran yang dapat memasukkannya ke dalam golongan kanan. Karena itu, ia harus terus berusaha.
وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ
10. (Ketiga adalah) orang-orang yang paling dahulu beriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar